Sabtu, 30 Oktober 2010

PostHeaderIcon REALITAS DAN ANTI REALITAS


REALITAS  DAN ANTI REALITAS
PADLIA PARAKASI & SRI WULAN


A. PENDAHULUAN
            Suatu pengetahuan termasuk ilmu atau pengetahuan ilmiah apabila pengetahuan itu dan cara memperolehnya telah memenuhi syarat-syarat tertentu.  Bila syarat itu belum dipenuhi , maka suatu pengetahuan dapat digolongkan kedalam pengetahuan yang lain  bukan ilmu ,  walaupun juga tidak tergolong  bagian dalam filsafat.  Sebagai perumpamaan  secara spontan kita menganggap kadar kebenaran berkaitan dengan “truth fullness” dengan situasi empirik  tanpa  muatan moral sama sekali missal 2+3 = 5 , ataupun  dengan  righteousness berhubungan dengan moral  sebagai  contoh dengan membantu orang yang menderita/kesusahan.
            Pada umunya kalangan ilmiah  sependapat bahwa ada sifat-sifat yang merupakan syarat-syarat terpenting bagi suatu pengetahuan untuk dapat tergolong  ke dalam ilmu atau pengetahuan ilmiah. Syarat-syarat itu adalah dasar pembenaran , sifat sistematik dan sifat inter subjektif. Berkaitan dengan tugas yang kami peroleh, maka tulisan ini akan memfokuskan kepada  dasar pembenaran itu sendiri, baik bersifat independen , berkaitan dengan  ide,  ditelaah dalam kajian  empiris  dan ilmu pasti kemudian direfleksikan serta mengevaluasi filsafat atas data empiris hingga ditemukan ada tidaknya sebuah kebenaran  dan akhirnya kembali merefleksi filsafat atas ada tidaknya kebenaran itu sendiri.
B.             PEMBAHASAN
1.             Kebenaran Ada Pada Realitas Bersifat Independent
a.             Pengertian Kebenaran
Kebenaran menjadi tema sentral dalam filsafat. Karena kebenaran adalah fitrah manusia, maka dengan didorong oleh thaumasia, unsatisfaction, sense of curiousity, dan aporia maka manusia mencari jalan menuju kebenaran. Diskursus kebenaran pun akhirnya mewarnai setiap peradaban manusia: apakah yang benar itu? Bagaimana mencari kebenaran itu? apakah kebenaran itu bernilai obsolut-statis ataukah relatif-dinamis? Serta segudang pertanyaan lain yang terus menerus menjadi warna dalam setiap peradaban hingga kini. Bila sampai kini manusia terus mencari jawaban atas kebenaran itu, apakah kemudian dapat diartikan bahwa kebenaran itu utopis: hanya ada dalam teori namun tidak mempraksis?
De omnibus dubitandum! Segala sesuatu harus diragukan kata Rene Descartes. Namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu, seperti Hamlet yang menantang Ophelia untuk ragu: "Doubt thou the stars are fire; doubt the sun doth move; doubt truth tobe a liar; but never doubt I love" (Shakespeare, "Hamlet")

Kebenaran seharusnya merupakan pernyataan tanpa ragu! Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pernyataan: bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Bila hubungan ini tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah. Suatu kalimat dapat disebut “benar” atau “salah”, meskipun tak seorangpun mempercayainya, asalkan jika kalimat itu dipercaya, benar atau salahnya kepercayaan itu terletak pada masalahnya (Suriasumantri, 2006 p. 76). Secara lebih jelas  hal ini terlihat pada bagan berikut :

b.             Kebenaran Terhadap Realitas bersifat Independen
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berkaitan dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual. Ini didukung oleh teori dalam filsafat  yaitu teori corespondence. Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita objek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi (corespondence theory of truth)  menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu  diperhatikan yaitu :
1). Statement (pernyataan)
2). Agreement (persesuaian)
3). Situation (situasi)
4). Reality (kenyataan)
5). Judgements (putusan)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya Plato, Aristotels dan Moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Bertrand Russel pada abad modern. Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya. Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2.             Kebenaran Ada Dalam Ide
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebenaran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya. Ukuran Kebenaran adalah :
- Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran
- Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain
- Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran
Jenis-jenis Kebenaran :
a. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
b. Kebenaran Ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)
c. Kebenaran Semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik psikologis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebenaran.
Bagi Plato kebenaran adalah sesuatu yang terdapat pada apa yang dikenal, atau pada apa yang dikejar untuk dikenal . Hal ini sesuai dengan ajaran Plato mengenai idea-idea, bahwa realitas yang sesungguhnya berada didalam dunia idea sedangkan realitas inderawi hanyalah bayang-bayang (Bertens K, 1991: 110-111). Menurut Wibisono dalam makalahnya mengatakan; sejalan dengan perkembangan filsafat ilmu pengetahuan pun berkembang dengan pesatnya. Dalam perjalanan selanjutnya, terdapat fenomena adanya suatu konfigurasi yang menunjukkan tentang bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” itu telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang-filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Berkaitan dengan ilmu-ilmu, pengetahuan yang dicari dan diperoleh sering disebut dengan istilah pengetahuan ilmiah. Menurut Bahm ( 1980: 1) ada lima unsur pokok dalam suatu pengetahuan yang disebut ilmiah yaitu masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan pengaruh tertentu.
 Wiliam James menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam problem solving.
Dalam hal ini ada kebenaran tentang Religius. Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan, maka itu benar. Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara ontologis dan axiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran Illahi ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran (kebenaran indera, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebenaran ini.
3.             Taraf-taraf Kepastian dalam Ilmu Empiris dan Ilmu Pasti
Taraf kepastian dalam ilmu empiris, didukung oleh teori dalam filsafat yaitu Teori Consistency. Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap reliable jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain. Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Cara kerja ilmu-ilmu empiris senantiasa mengikuti pola: membuat pengamatan – membentuk hipotesis – memeriksa apakah implikasi dari hipotesis dapat diamati – kalau tidak, bentuk hipotesis baru … dan seterusnya. Upaya utama adalah mendapatkan hipotesis yang implikasinya cocok dengan data pengamatan. Data empiris dapat “mengalahkan” atau menolak sebuah hipotesis, dapat pula menjadi alasan untuk menyempurnakan hipotesis, namun tidak pernah dapat dipakai untuk membuktikan secara tuntas berlakunya sebuah hipotesis. Tahap berikutnya dalam pembentukan ilmu adalah perumusan hukum. Dibandingkan dengan hipotesis, hukum memiliki 3 ciri khas, yaitu: (1) lebih pasti, (2) lebih bersifat umum, dan (3) memiliki daya-terang yang lebih kuat. Hukum dapat menjadi titik tolak bagi penjelasan-penjelasan deduktif.
Setiap hukum bersifat empiris dan harus diperiksa kebenarannya atau digugurkan dari kedudukannya berdasarkan data empiris. Hukum-hukum yang terdapat dalam peristiswa serumpun dapat pula digabungkan dalam suatu hukum yang bersifat umum, menuju kepada pembentukan sebuah teori. Teori merupakan pandangan umum mengenai realitas, merupakan wujud dari usaha untuk mengkonsilidasikan perbendaharaan pengetahuan, agar diperoleh gambaran yang “efisien”. Selama sebuah teori memiliki daya-terang yang menjelaskan kedudukan atau keterbatasan hukum, maka teori itu berguna.
Taraf-taraf kepastian subjektivitas dan objektivitas ilmu adalah :
a.      Evidensi
Evidensi objek pengetahuan berkenaan dengan taraf kepastian pengetahuan
yang dapat dicapai subjek dalam ilmu terjadi berdasarkan evidensi objek yang dikenal. Evidensi dan kepastian itu perlu dilihat dari sudut kesatuan asli subjek dan objek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya. Misal: dalam filsafat, evidensi objek bersangkutan dialami subjek dengan cara mendalam. Dengan demikian mutu kepastian adalah meyakinkan dan paling tinggi, paling bebas, sekaligus paling pribadi.
1). Dalam ilmu-ilmu empiris
Semua ilmu empiris termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan mengejar kepastian. Namun taraf kepastian konkret dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas. Artinya tidak pernah ada paksaan pada akal agar sesuatu disetujui. Dengan kata lain evidensidalam ilmu-ilmu empiris selalu bersifat nisbi, sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan. Makin dekat bidang ilmu tertentu pada pengalaman manusia seutuhnya, maka makin besar kesatuan subjek-objek, sehingga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi evidensi dan kepastian diwarnai subjektivitas yang membangun. Misal: dalam filsafat dan humaniora.
Makin jauh bidang ilmu tertentu dari pengalaman manusia seutuhnya, maka makin kurang kesatuan subjek objek, sehinga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi evidensi dan kepastian lebih diwarnai oleh objektivitas (di luar pengalaman subjektif). Misal: dalam ilmu alam.
2). Dalam ilmu-ilmu pasti
Dalam context of discovery sebagaimana ilmu yang lain memang ilmu pastipun masih dalam taraf coba-coba. Sedangkan dalam context of justification, maka tidak ada hipotesa lagi, melainkan ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis dan dalil-dalil.
Ia berlaku tanpa terikat ruang
dan waktu. Memang ilmu-ilmu pasti tidak bersifat empiris, sehingga sifat evidensinya bersifat mutlak.
Sekali seorang ilmuwan memilih sistem tertentu maka ia sudah tidak bebas lagi untuk meragukan atau menolak hasil system ilmu yang bersangkutan (Verhak, 1989: 116) Ilmu alam agak jauh dari pengalaman konkret, sebab sifatnya eksak. Tidak saja keeksakan dalam konsep-konsepnya. Konsep dalam ilmu alam jauh dari pengalaman yang terbuka (bersifat eksklusif). Isi konsep dan isi observasi berkaitan secara univok. Konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu alam agak jauh dari data-data dri pengalaman yangterbuka bagi setiap orang, sehingga alam sukar untuk dimengerti bagi orang yang bukan ahli. Lagi pula ilmu alam dalam menyelididki realitas jasmani terus-menerus memperluas sarana observasinya, sehingga peran indera berkurang. Contoh: melihat data cukup dengan membaca petunjuk grafik, jarum.
b. Objektivitas
Ilmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati fakta-faktanya secara metodis, artinya menurut cara penelitian yang dikembangkan oleh subjek yang mengenal. Misal: ilmu alam berhasil menyalurkan pengaruh subjektif, sehingga terbentuk ilmu yang benar-benar intersubjektif. Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu manusia yaitu bahwa ilmu-ilmu  itu dalam praktek tidak dapat melakukan eksperimen secara netral. Misal: tidak bisa menguji coba terlebih dahulu pelbagai bentuk sosial. Walaupun pengalaman eksperimental dalam ilmu-ilmu manusia diperlukan, maka hal yang memungkinkan yaitu arah menuju kemanusiaan yang lebih baik serta utuh (Van Peursen, 1986: 64) Objektivitas ilmu alam adalah objektivitas yang menyangkut apa yang diberikan sebagai objek. Objek tidak mesti berupa suatu benda, tetapi objek itu merupakan sesuatu yang tampak bagi indera manusia (panca indera). Ilmu alam maupun ilmu sosial adalah non-refleksif sejauh tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai kodratnya sendiri sebagai ilmu dengan mempergunakan sarana-sarana teoritis dan eksperimentalnya.

4.             Refleksi dan Evaluasi Filsafat atas Data Emperis
Ilmu empiris mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Jadi berdasarkan objek telaahnya maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun, 1981: 6).
 Ilmu empiris mempunyai beberapa asumsi mengenai objek (empiris), antara lain:
(1) Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu
dalam  dalam hal: bentuk, struktur dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual, melainkan suatu kelas tertentu.
(2) Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relative dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
(3) Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama (Paul Niddich dalam Yuyun S, 1981: 7-9).
Namun ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan atau (peluang) besar untuk mengakibatkan terjadinyakejadian lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal itu perlu, sebab kejadian alam sangat komplek. Beberapa kritik terhadap empirisme adalah :
a.      Empirisme didasarkan pada pengalaman. Tetapi apakah yang disebut pengalaman?  sekali waktu dia hanya berarti rangsangan pancaindera. Lain kali dia muncul sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Kritikus kaum empiris menunjukkan  bahwa fakta tak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Fakta itu sendiri tak menunjukkan hubungan di antara mereka terhadap pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis maka “pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah  teori pengetahuan yang sistematis.
b.      Sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Panca indera kita sering menyesatkan dimana hal ini disadari oleh kaum empiris itu sendiri. Empirisme tidak mempunyai perlengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta.
c.       Empirisme tak memberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, dalam pengertian di atas, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan. Tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman indera yang tak terputus-putus, kita takkan pernah merasa yakin, bahwa mobil yang kita masukkan ke dalam garasi pada malam hari adalah juga mobil yang sama yang kita kendarai pada pagi harinya.
5.             Ada Tidaknya Kebenaran
Dalam sejarah kehidupan, manusia selalu berusaha untuk mencari ada tidaknya kebenaran. Dan sepanjang sejarah itu pula perdebatan mengenai arti dan cara mencapai kebenaran diperdebatkan;
a.             Zaman Yunani Kuno
Diawali oleh Socrates ( ± 469-399) sebagai tokoh yang patut disebut mengawali pembicaraan mengenai kebenaran. Meskipun tidak secara langsung berbicara mengenai kebenaran ilmiah tetapi ia tidak menyetujui relativitas yang terdapat pada kaum sophis. Menurutnya terdapat kebenaran objektif, ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang tidak baik; ada tindakan yang pantas dan ada yang tidak pantas. Socrates telah meletakkan dasar bagi berkembangnya gagasan tentang adanya kebenaran (Bertens, 1991; 86). Pendapat Socrates dilanjutkan oleh Plato (427-322 SM). Menurut Plato kebenaran merupakan ketak-tersembunyian adanya. Hal ini berarti selama kita masih terikat pada yang ada (the being) saja tanpa masuk adanya dari yang ada itu kita belum berjumpa dengan kebenaran karena adanya (being) itu masih tersembunyi. Barulah dengan hilangnya atau diambilnya selubung yang menutup adanya dari yang ada itu terhadap mata batin kita, maka terbukalah adanya dan serentak dengan itu tampillah kebenaran (Verhaak & Haryono, 1991; 126).
Aristoteles (384-322) lebih melihat kebenaran dari cara yang dipakai pengenal melalui suatu sistem berfikir ilmiah yang dikenal dengan logika. Berkaitan dengan ini dia mengemukakan bahwa cara berfikir ilmiah itu terdiri dari pengertian, petimbangan, dan penalaran. Menurutnya, pengertian mengngkapkan adanya 10 kategori yaitu substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, menderita. Segala pengertian dapat digabungkan sehingga membentuk suatu pertimbangan. Dengan petimbangan tersebut dapat digabungkan sehingga menghasilkan silogisme (Hadiwiyono, 1980; 45-47).
b.             Zaman Abad Pertengahan
Tokoh yang patut disebut ddalam abad pertengahan ini adalah Thomas Aquinas (1224-1274). Thomas Aquinas mendefinisikan kebenaran sebagai “adequatio rei et intellectus” yaitu kesesuaian, kesamaan pikiran dengan hal, benda. Oleh karena itu kebenaran merupakan istilah transendental yang mengena kepada semua yang ada; dalam arti tertentu kebenaran  bukanlah suatu pernyataan tentang cara hal-hal berada tetapi melulu hal-hal itu sendiri (Bagus, 1996; 415). Menurut Wibisono (1999) pada zaman abad pertengahan ini kita tidak bisa melupakan para filsuf Arab seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Al-Ghazaly. Mereka telah menyebarkan filsafat Aristoteles ke Cordova Spanyol dan kemudian diwariskan serta dikembangkan oleh para kaum Patristik dan Skolastik di dunia barat sehingga tepat apabila dikatakan jika orang-orang Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah dan orang Muslim adalah Bapak angkatnya.
c.              Zaman Modern
Pada zaman modern ini diwarnai dengan timbulnya aliran-aliran tentang perolehan ilmu pengetahuan atau kebenaran ilmiah. Diantaranya adalah Rasionalisme, Empirisme dan Kritisisme. Tiga tokoh besar yang mewakili ketiga aliran tersebut adalah Rene Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant.
-       Rasionalisme
Aliran rasionalisme ini secara luas merupakan pendekatan filosofis yang menekankan adanya akal budi atau rasio sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi (Hadiwiyono, 1980, 2; 18). Peletak dasar dari aliran ini adalah Rene Descarte (1596-1650). Menurut Descartes, cara untuk membedakan ada tidaknya kebenaran adalah ada tidaknya ide yang jelas dan terpilah-pilah mengenai sesuatu (idea clara et distincta). Akibat pernyataan itu lebih lanjut adalah isi ide yang jelas dan terpilah-pilah itu menjadi benar sehingga kebenaran disamakan dengan idea tersebut. Idea itu pertama-tama terdapat dalam subjek pengetahuan, maka kebenaran-pun demikian, tanpa ada hubungan dengan dunia luar, maka kebenaran  hanya sebagai suatu kesimpulan dari adanya kebenaran dalam idea tersebut. Terwujudnya kebenaran ditegaskan sebagai suatu kenyataan (Hadiwiyono, 1980; 18).
-                 Empirisme
David Hume – sebagai tokoh peletak dasar bagi empirisme – menolak rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan sejati berasal dari rasio. Sanggahan Hume ini secara konsekuen terdapat dalam penjelasannya tentang tidak adanya substansi dalam kesadaran kita. Baginya kesatuan ciri-ciri yang disebut substansi oleh rasionalisme hanyalah fiksi, sekumpulan kesan-kesan (a bundle of collection of perception), substansi hanyalah sekumpulan persepsi saja. Menurutnya hakekat ide-ide itu selalu empiris (Yumartana, 1993; 21).
Aliran empirisme secara umum merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan baik pengalaman lahiriyah atau batiniyah. Informasi yang disajikan kepada kita berguna secara fundamental sebagai ilmu pengetahuan. Akal budi tidak dapat memberikan kepada kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita (Bagus, 1996; 31-38)
-   Kritisisme
Immanul Kant adalah peletak dasar dari aliran kritisisme. Dalam arti luas, kritisisme merupakan sebuah epistemologi yang menempatkan akal budi sebagai nilai yang amat tinggi tetapi akal budi memiliki keterbatasan. Oleh karena itu Kant mencoba mend
amaikan rasionalisme dengan empirisme dengan berpendapat bahwa pengetahuan bersifat sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme merupakan sintesis dari pengamatan ruang dan waktu. Kemudian pengetahuan akal merupakan sintesis pengetahuan. Implikasinya yang dihasilkan bukanlah pengetahuan das ding an sich, untuk itu rasio dan akal budi memberi arah kepada akal ketika tidak mampu mengetahuinya. Kant menyebutnya sebagai idealisme transdental atau idealiseme kritis (Hadiwiyono, 1980, 2; 63-82).
-   Positivisme
Abad ke-19 dapat diakatakan sebagai abad positivisme – dengan tokohnya Auguste Comte (1798-1857) -, karena pengaruh aliran ini demikian kuatnya dalam dunia modern.
Filsafat menjadi praktis bagi tingkah laku manusia sehingga tidak lagi memandang penting berfikir yang bersifat abstrak (Wibisono, 1996;1).
Positivisme kata kuncinya terletak pada kata positif itu sendiri yaitu lawan dari kahayal, merupakan sesuatu yang riil dan objek penyelidikannya didasarkan pada kemampuan akal (Wibisono, 1996; 37). Kata positif juga lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan disinilah terjadi progress (kemajuan). Positif juga berarti jelas dan tepat. Disinilah diperlukan filsafat yang mampu memberi atau mebeberkan fenomena dengan tepat dan jelas. Positif juga lawan dari kata negatif dan ada keterkaitan selalu dengan masalah yang menuju kepada penataan atau penertiban.
Penggolongan ilmu pengetahuan oleh Comte didasarkan kepada sejarah ilmu itu sendiri yang menunjuk adanya gejala yang umum yang mempunyai sifat sederhana menuju kepada gejala yang komplek dan semakin konkret. Ilmu-ilmu yang dimaksud adalah ilmu pasti (matematika) dan secara berturut-turut astronomi, fisika, kimia, biologi, dan akhirnya fisika sosial atau sosiologi (Wibisono, 1996; 25). Penggolongan tersbut menyaratkan adanya perkembangan ilmu yang lambat dan cepat. Yang paling cepat perkembangannya adalah yang sederhana dan umum objeknya. Dan ada yang paling lambat perkembangannya adalah yang paling kompleks objek permasalahannya, misalnya fisika sosial.
Sejarah manusia berkembang menurut tiga tahap yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau riil (Wibisono, 1996; 11). Tahap teolohi atau fiktif merupakan tahap dimana manusia menggambarkan fenomena alam sebagai produk dari tindakan langsung, hal yang berifat supranatural. Pada tahap ini manusia mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada dengan selalu mengkontekstualisasikan dengan hal yang sifatnya mutlak.
Tahap metafisik merupakan tahap dimana kekuatan-kekuatan supranatural digantikan oleh kekuatan yang bersifat abstrak, yang dipercaya mampu mengungkapkan rahasia fenomena yang dapat diamati. Dogma-dogma telah ditinggalkan dan kemampua akal budi manusia dikembangkan secara maksimal sehingga kekuatan yang bersifat magis digantikan dengan analisis berfikir untuk membedakan yang natural dan supranatural, yang fisik dan metafisik sehingga manusia berperan sebagai subjek yang berjaraak dengan objek. Comte menggambarkan sebagai tahap perkembangan manusia dari sifat ketergantungan menuju sifat mandiri atau dewasa. Tahap ini merupakan masa peralihan yang penuh konflik dan merupakan tahap yang menentukan menuju tahap positivisme.
Tahap ketiga adalah postivisme yaitu orang mulai menoleh, mencari sebab-sebab terakhir dari kejadian alam, kemudian berubah kepada penemuan hukum-hukum yang menyelimuti dengan menggunakan pengamatan dan pemikiran. Tahap ini merupakan tahap science dengan tugas pokok memprediksi fenomena alam dalam rangka memanfaatkannya. Manusia telah sampai pada pengetahuan yang positif yang dapat dicapai melalui observasi, eksperimen, komparasi dan hukum-hukum umum. Pengetahuan yang demikian menunjuk pada pengetahuan yang pasti, riil, jelas dan bermanfaat
.
Comte dengan ilmu pengetahuan positifnya, yang pada tahap akhir perkembangan akal budi manusia menjadi pedoman hidup dan landasan kultural, institusional dan kenegaraan untuk menuju masyarakat yang maju dan tertib, merdeka dan sejahtera. Bangunan ilmu pengetahuan positif itu adalah sebagai berikut;
Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral). Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak, pihak subjek dan objek. Pada pihak subjek seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya sentimen, penilaian etnis, kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan agama,
filsafat dan lain sebagainya yang bisa mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diamati. Pada pihak objek, aspek-aspek dan dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam onservasi misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditolerir keberadannya. Laporan atau teori-teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang dapat diobservasi saja.
Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulangkali terjadi. Andaikata ilmu pengetahuan hanya diarahkan kepada hal-hal unik, yang hanya sekali saja terjadi, maka pengetahuan itu tidak dapat membantu kita untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal ramalan atau prediksi merupakan suatu tujuan terpenting ilmu pengetahuan.
Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan antar hubungannya dengan fenomena-fenomena lain. Mereka diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Perhatian ilmuwan bukan diarahkan kepada hakekat dari gejal-gejala melainkan pada relasi-relasi luar khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda, gejala-gejala atau kejadian-kejadian.
Usaha Comte untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat positif, objektif, ilmiah, dan universal pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti, dan studinya yang mendalam tentang hal ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai tingkat kebenaran yang tertinggi, bebas dari penilaian-penilaian subjektuf dan berlaku universal. Oleh sebab itu suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai dengan pertimbangan ilmu pasti (matematika dan statistika) adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu pasti ilmu pengetahuan akan kembali menjadi metafisika (Abidin, 2000; 121-124).
6.             Refleksi Filsafat atas Ada tidaknya Kebenaran
Kerbenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianngap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang-ada mengungkapkan diri kepada akalbudi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya (Bagus, 1991:90).
Menurut teori kebenaran metafisis/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu (misal: kesesuaian antara pernyataan dengan fakta (Deutsch, 179:96-102). Dengan demikian kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar kalau memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada. Sesuatu mesti diketahui dahulu baru dinyatakan.
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta (Lorens Bagus, 1991: 93). Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standard tunggal pengetahuan dengan paradigma (metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan.
Secara epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya (Sonny Keraf, 2002:66). Setiap tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat diperoleh berkat metode yang dipergunakannya, adapun pandangannya adalah sebagai berikut;
Empirisme
Empirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja a posteriori. Empirisme bertitik tolak dari adanya dualitas antara pengenal dan apa yang dikenal. Mereka menginginkan agar apa yang terdapat dalam pengetahuan pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di luarnya. Mereka memberi peran yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang pengenal bersifat pasif. Teori Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi mereka untuk menguji hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta empiri yang menjadi objeknya. Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya (Abbas, 1997:87).
Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
Rasionalisme
Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan dibangunnya pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak bisa memakai kenyataan objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya, karena menurutnya ilmu cukupbertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a priori. Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya. Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bilaterdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar (Verhaak, 1989:123). Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori kebenaran yang tradisional. Selain melalui hubungan gagasaan-gagasan secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian dalam berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis. Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan validitas, teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan. Misal pada jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.
Induktivisme
Induktivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi, dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Hal itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi, dan makin besar variasi kondisi di mana observasi dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil generalisasi itu benar. Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas (Chalmers, 1982:18). Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan pengingkaran terhadap teori.

Ilmu Modern
Ilmu-ilmu modern dalam metodenya merupakan kombinasi antara Rasionalisme dan Empirisme maka tentu teori kebenaran yang dipakai menguji dalam pernyataan pada teorinya, yaitu mempergunakan Teori Kebenaran Koherensi dan Teori Kebenaran Korespondensi sekaligus. Hal yang cukup penting dan perlu mendapatkan perhatian dalam hal kebenaran ini yaitu, bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan dalam bidangnya.
Relativisme
Beberapa pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah kepada relativisme. Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang mempertahankan kebenaran hingga mengarah ke bentuk solip (Hester,2001: 330). Lingkungan dari berbagai budaya sepertinya mengadopsi kebenaran yang berbeda satu dengan lainnya karena di sana tidak ada jalan untuk membandingkan secara transkultural. Popper mengatakan: kita terkurung dalam kerangka teori kita, ekspektasi kita, pengalaman lampau kita, dan bahasa kita.
Dalam perjalanan sejarah Ilmu, ilmu modern (Positivisme) berusaha melakukan standarisasi metode dan kebenaran pengetahuan. Faham Positivisme menginginkan satu standar bagi pengetahuan dan keyakinan manusia yaitu ilmu. Menurutnya ilmu lebih unggul baik dalam metode maupun kebenaran disbanding pengetahuan dan keyakinan lainnya. Gadamer menginginkan standard metode yang berbeda untuk ilmu humaniora, karena menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya berbeda dengan alasan teoritis (Gadamer, 1975:27). Demikian juga Dilthey dan Weber menginginkan pendekatan yang berbeda untuk dunia sosial, mereka menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar” yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah benar dalam suatu makna kata namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata “ilmu penciptaan” sebagai pemilik kebenaran menjadi bermakna keteraturan (kosmos) diterima sebagai ilmiah namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama (Roger,1997:202).
Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari suatu masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran misalnya antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya cakupan, , kompleksitas dan variasi yang berbeda (David Hall, 2001:286). Apakah pemakaian bahasa merupakan suatu keharusan dalam ilmu? Roger mengatakan bahwa semua kebenaran ilmiah adalah provisional. Pemakaian suatu bahasa dalam rumusan yang lugas dan abstrak bahkan jauh dari nuansa keseharian adalah tidak dapat dihindarkan. Usaha tersebut untuk menghindari pola intuisi yang kadang salah dan tidak bermakna. Apapun bentuk rasionalisasi internal dari ilmuwan tetap membutuhkan pengkomunikasian kebenaran kepada ilmuwan lain, apakah dalam rumusan matematika ataupun rumusan lainnya. Kebenaran ilmiah tidak dapat dipisahkan dari bahasa dalam arti umum, termasuk matematika. Menurut para sosiolog, ilmu adalah suatu aktivitas sosial .
Merumuskan suatu pernyataaan adalah usaha mengkomunikasikan, oleh karena itu membutuhkan konsep dan bahasa untuk dapat menyatakannya; jadi kebenaran tidak dapat dipisahkan dari konsep manusia dan alat linguistic (Roger,1979,214). Secara epistemologis kebenaran memegang peranan penting bagi komunikasi antara penghasil pengetahuan kepada yang mewarisinya atupun kepada tradisi epistemologi lainnya (Lisa, 2001:373).
Wittgenstein dalam pemikiran awalnya berpendapat bahwa dasar penilaian kebenaran dari proposisi adalah kemungkinan ada dan tidaknya fakta atomis yang akan memverifikasi proposisi itu sendiri. Fakta atomis mempunyai peranmembuat proposisi benar daripada memapankan proposisi sebagai benar (Joanne, 1974:61).
Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya “keadaan yang sebenarnya” dari objek pengetahuan walaupun tetap memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal. Objektivitas dalam ilmu-ilmu sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik yang terus-menerus antara subjek pengenal dan objek yang dikenal
Falsifikasionis
Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teorilama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang menedekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi (Popper, conjectures ang Refutations,1968: 237) Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan (justify) suatu teori. Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita atas suatu teori, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai kini bisa bertahan terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya Taryadi, 1989: 75). Teori konsensus adalah tidak memadai untuk menjadi kriteria pengukuran kebenaran pengetahuan, karena pernyataan dari ilmu diterima dalam bangunan kebenaran setelah melalui pengujian, disetujui untuk diterima atau ditolak sebagai basis konsensus. Analisis psikologi menunjukkan bahwa teori consensus mungkin dihasilkan sebagai manifestasi tingkah laku yang tumbuh merajalela, ia merupakan pernyataan psikologis atas perasaan dan pemikiran, dengan kata lain kebenaran adalah persetujuan komunal. Sehingga sebagai definisi kebenaran maka teori konsensus harus ditolak sebagai gagasan yang masuk akal (Roger, 1997:206).
Konstruktivisme
Konstruktivisme menjadikan konsensus sebagai landasan bagi teori kebenaran. Menurut teori ini, konsensus di antara anggota komunitas merupakan jalan bagus untuk mencapai kebenaran, dengan kata lain konsensus hanya merupakan kriteria validitas. Konstruktivisme terjebak dalam pandangan bahwa Alam tidaklah ada, yang ada hanya merupakan kontruksi dari anggota-anggota yang melakukan konsensus.Latous dan Wolgar menyatakan bahwa aktivitas ilmiah tidak hanya “tentang alam”, tetapi adalah usaha keras untuk mengkonstruksi realitas.
Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, ole karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya (Feyerabend, 1983: 156).
Rortry mengatakan bahwa pencarian kebenaran adalah nothing tapi hanya perubahan ke kebaikan. Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan: pernyataan benar adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan (Taryadi, 1989:71). Namun Tarski melihat suatu pernyataan menjadi tidak memadai tatkala pernyataan itu adalah teori ilmiah yang merupakan abstraksi dan  penyederhanaan atas alam. Misal : hukum tentang gerak dari Newton.(Roger, 1997:204). Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan,objektivisme lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam arti sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara pasti dengan keadaan, maka tidak ada tempat bagi interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan percaya bahwa teori-teori mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat bahwa teori-teori selalu merupakan imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan oleh persetujuan antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan kebenaran merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan penyederhanaan dan pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-kejadian—yang digabungkan dengan unsur persetujuan (Roger, 1979:213).

C.             KESIMPULAN
Kebenaran menjadi tema sentral dalam filsafat. Karena kebenaran adalah fitrah manusia. Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman. Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing. Ilmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan ilmu pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad sebelumnya. Hal tersebut tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk sekarang dan akan salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita mendekati kebenaran lebih dekat.
D.            DAFTAR PUSTAKA
1.      Bronowsky, B. The Acent of Man. London : Longman, 1986 
2.      Cony R. Semiawan et.al. Spirit Inovasi dalam Filsafat Ilmu
3.      Morgan Besser. Philosophy of Sience Today. New York : McGraw Hills Book
         Company, 1999
4.      Yuyun Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar. Jakarta : Sinar Harapan,
         1990 (1)
5.      __________________ Ilmu dalam Perspektif. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
         1997 (2)
6.      C. Verhaak dan R Haryono Imam. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telah Atas
         Cara Kerja Ilmu-ilmu.Jakarta : Gramedia
7.      Zubaidi, dkk. 2007. Filsafat Barat : Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi    Sain ala Thomas Kuhn. Yogyakarta : AR-RUZZ Media
8.      HTTP/Jurnal Filsafat.ugm.ac.id/index.php/2010 (12 Sept 2010)
9.      Sumber internet lain

0 komentar:

Posting Komentar