Jumat, 29 Oktober 2010

PostHeaderIcon LOGIKA: DEDUKTIF DAN INDUKTIF

LOGIKA: DEDUKTIF DAN INDUKTIF
 KELOMPOK I : FAUZI & ABI MAS`UD

Sebagai pembuka wacana berikut ini disajikan anekdot:
“pada tahun 1432 M, terjadilah pertengkaran sengit dikalangan penganut agama tentang berapa jumlah gigi mulut seekor kuda. Selama 13 hari perdebatan itu berlangsung tanpa berhenti. Semua buku kuno dan kitab agama dikeluarkan, dan terjadilah pengkajian yang menarik dan melelahkan, yang belum pernah terjadi di daerah itu sebelumnya. Pada pagi hari ke-14, seorang pendeta muda dengan sikap hormat meminta ijin kepada seniornya untuk berbicara. Dan langsung yang membuat mereka yang bertengkar itu heran dan marah, ia memohon agar mereka mengambil keputusan dengan cara rendah dan asing. Ia meminta kepada mereka untuk membuka mulut kuda dan melihat ke dalamnya untuk mencari jawaban bagi persoalan mereka. Dengan perkataan anak muda ini mereka sangat terluka, dan mereka menjadi marah. Secara beramai-ramai mereka menerjang anak muda itu dan memukulinya, serta melemparkanya ke luar ruangan perdebatan. Karena, kata mereka, pasti setan telah menggoda anak muda yang berani itu untuk mengemukakan cara menemukan kebenaran yang tidak suci dan yang tak pernah terdengar sebelumnya, serta bertentangan dengan semua ajaran bapa-bapa pendeta. Sesudah berlangsung lagi beberapa hari lagi perdebatan itu. Secara bulat mereka menyatakan bahwa masalah tersebut merupakan misteri abadi, karena sangat kurangnya bukti-bukti sejarah dan keagamaan mengenai hal itu. Mereka pun menyuruh hal itu ditulis demikian.

Pendahuluan
Perkembangan dunia ilmu sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan dalam dunia riset yang dilakukan secara berkelanjutan. Hanya dengan kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan akan mengalami kemajuan. Dunia keilmuan dituntut untuk secara terus menerus melahirkan produk  riset bagi kehidupan ini.
Suatu penelitian pada hakekatnya dimulai dari hasrat rasa ingintahu manusia (sense of curiosity) terhadap berbagai hal yang ada dalam kehidupan ini. Rasa keingintahuan itu dinyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan maupun permasalahan-permasalahan yang memerlukan jawaban atau pemecahannya, sehingga akan diperoleh pengetahuan baru yang dianggap benar.
Pengetahuan baru yang benar tersebut merupakan pengetahuan yang dapat diterima oleh akal sehat dan berdasarkan fakta empirik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Sedangkan aplikasi dari logika dapat disebut dengan penalaran (reasoning)2, dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah.
Pertanyaan yang penting diajukan disini adalah cara kerja penalaran atau pola berfikir seperti apakah yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang memenuhi kaidah-kaidah berfikir ilmiah? Para pakar dibidang Filsafat Ilmu telah mengajukan jawaban terhadap pertanyaan ini bahwa untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif. Tulisan ini secara khusus akan menguraikan secara singkat terkait dengan kedua jenis penalaran tersebut yaitu logika deduktif dan logika induktif.

Logika
Pengertian
Perkataan logika berasal dari kata “logos” bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran yang benar. Kalau ditinjau dari segi logat saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar. Dalam bahasa Arab dinamakan ilmu manthiq yang berarti ilmu bertutur benar3. Dalam Kamus Filsafat, logika - Inggris - logic, Latin: logica, Yunani: logike atau logikos [apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis, dapat dimengerti4. Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah.
Logika sebagai cabang filsafat - adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar.  Dengan mengetahui cara atau aturan-aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan5.  Menurut Louis O. Kattsoff, logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu dan kadang-kadang logika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan6. Tentu saja kesimpulan yang dihasilkan adalah kesimpulan sahih (valid) dan diperoleh dengan cara yang sahih7.
Hukum Dasar Logika
Agar kesimpulan yang dihasilkan dari proses berfikir yang logic menghasilkan kesimpulan yang benar dan sahih, maka harus mendasarkan pada kaidah hukum logika yang ada. Secara garis besar ada tiga hukum dasar logika formal8, yaitu:
Hukum Identitas.
     “sesuatu adalah selalu sama dengan atau identik dengan dirinya, dalam Aljabar: A sama dengan A.” inilah hukum identitas. Dimana sesuatu selalu identik dengan dirinya.
Rumusan khusus hukum tersebut tak terlalu penting. Pemikiran esensial dalam hukum tersebut adalah dengan mengatakan bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya, maka dalam segala kondisi tertentu sesuatu itu tetap sama dan tak berubah. Keberadaannya absolut. Seperti yang dikatakan oleh ahli fisika: ”materi tidak dapat di buat dan dihancurkan.” Materi selalu tetap sebagai materi.
Jika sesuatu adalah selalu dan dalam semua kondisi sama atau identik dengan dirinya, maka ia tidak dapat tidak sama atau berbeda dari dirinya. Kesimpulan tersebut secara logis patuh pada hukum identitas: Jika A  selalu sama dengan A, maka ia tidak pernah sama dengan bukan A (Non-A).
Hukum Kontradiksi.
    Hukum kontradiksi menyatakan bahwa A adalah bukan Non-A. hal itu tidak lebih dari sebuah rumusan negatif dari pernyataan posistif. Jadi hukum kontradiksi membentuk tambahan esensial pada hukum pertama. Beberapa contoh: manusia tidak dapat menjadi bukan manusia; demokrasi tidak dapat menjadi tidak demokratik; buruh-upahan tidak dapat menjadi bukan buruh-upahan.
    Hukum kontradiksi menunjukkan pemisahan perbedaan antara esensi materi dengan fikiran. Jika A selalu sama dengan dirinya maka ia tidak mungkin berbeda dengan dirinya.
Hukum Tiada Jalan Tengah. (the law of excluded middle).
Menurut hukum tersebut segala sesuatu hanya memiliki salah satu karakteristik tertentu. Jika A sama dengan A, maka ia tidak dapat sama dengan Non-A. A tidak dapat menjadi bagian dari dua kelas yang bertentangan pada waktu yang bersamaan. Dimana pun dua hal yang berlawanan tersebut akan saling bertentangan, keduanya tidak dapat dikatakan benar atau salah. A adalah bukan B; dan B adalah bukan A. Kebenaran dari sebuah pernyataan selalu menunjukkan kesalahan (berdasarkan lawan pertentangannya) dan sebaliknya. Hukum yang ketiga ini pada hakekatnya adalah sebuah kombinasi dari dua hukum sebelumnya dan berkembang secara logis.

Macam-Macam Penalaran
Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Sebagaimana dijelaskan pada bagian pendahuluan, bahwa untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan dua cara berfikir logic; yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif.
Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Dengan perkataan lain penalaran deduktif adalah cara penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum menjadi pernyataan yang bersifat khusus9.
Metode ini diawali dari pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Dalam cara berfikir deduktif, jika dasar pikirannya benar, maka kesimpulannya pasti benar. Cara berpikir deduktif memungkinkan seorang menyusun premis-premis menjadi pola-pola yang dapat memberikan bukti-bukti kuat bagi kesimpulan yang valid.
Adapun alat atau pola berfikir yang dipergunakan untuk mencapai pengetahuan yang benar dengan cara deduktif dinamakan silogisme/silogismus10.

Silogisme
Silogisme adalah suatu argumentasi yang terdiri dari tiga proposisi11 yaitu dua pernyataan dan satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor.  Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut12.

Dengan demikian suatu silogisme terdiri dari:13
Dasar pikiran utama (premis mayor)
Dasar pikiran kedua (premis minor)
Kesimpulan
Contoh 1:
Semua manusia adalah  makhluk hidup  (premis mayor)
Fauzi adalah seorang manusia (premis minor)
Fauzi adalah makhluk hidup (kesimpulan)
Contoh 2:
Semua makhluk hidup pasti akan mati [premis mayor]
Arkan adalah makhluk hidup [premis minor]
Jadi si Arkan pasti akan mati [kesimpulan - konklusi].

Silogisme adalah pola berpikir deduktif yang memiliki kebenaran pasti dan niscaya; berangkat dari hal-hal umum menuju hal-hal khusus. Kesahihan deduksi tidak tergantung kepada pengalaman inderawi, tapi semata-mata kepada konsistensi rasio.
Kesimpulan bahwa si Arkan pasti akan mati, menurut Jujun S. Suriasumantri, kesimpulan tersebut adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya.  Sedangkan pertanyaan apakah kesimpulan ini benar, maka hal ini harus dikembalikan kebenarannya pada premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis yang mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan tersebut benar. Tetapi dapat saja kesimpulan tersebut salah, walaupun kedua premisnya benar, sebab cara penarikan kesimpulannya salah. Selanjutnya Jujun S. Suriasumantri, mengatakan ketepatan penarikan kesimpulan tersebut tergantung pada tiga hal yaitu : [1] kebenaran premis mayor, [2] kebenaran premis minor, dan [3] keabsahan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, apabila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak memenuhi persyaratan, maka kesimpulan yang diambil atau diputuskan akan salah.

Macam-Macam Silogisme
Silogisme dapat dibedakan menjadi tiga14 yaitu :
Silogisme Kategorial
Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.
Contoh 1:
My: Semua mamalia binatang yang melahirkan dan menyusui anaknya.
Mn: Kerbau termasuk mamalia.
K: Jadi, kerbau : binatang yang melahirkan dan menyusui anaknya.
Yang perlu dicermati adalah, bahwa pola penalaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita tidak demikian nampak, entah di realita pembicaraan sehari-hari, lewat surat kabar, majalah, radio, televisi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam menyimak atau mendengarkan atau menerima pendapat seseorang, kita perlu berpikir kritis melihat dasar-dasar pemikiran yang digunakan sehingga kita dapat menilai seberapa tingkat kualitas kesahihan pendapat itu.
Dalam hal seperti ini kita perlu mnenentukan: 1) kesimpulan apa yang disampaikan; 2) mencari dasar-dasar atau alasan yang dikemukakan sebagai premis-premisnya; dan 3) menyusun ulang silogisme yang digunakannya; kemudian melihat kesahihannya berdasarkan ketentuan hukum silogisme.
Berdasarkan hal tersebut tentu saja kita akan mampu melihat setiap argumen, pendapat, alasan, atau gagasan yang kita baca atau dengar. Dengan demikian, secara kritis kita mengembangkan sikap berpikir ke arah yang cerdik, pintar, arif, dan tidak menerima begitu saja kebenaran / opini yang dikemukakan pihak lain. Berdasarkan hal inilah akhirnya kita mampu menerima, meluruskan, menyanggah, atau menolak suatu pendapat yang kita terima.
Silogisme Hipotesis
Silogisme hipotesis atau silogisme kondisional hipotetik adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis, atau silogisme hipotetis adalah silogisme yang memiliki premis mayor berupa proposisi hipotetis (jika),
Kondisional hipotesis alah silogisme yang mempunyai premis mayor berupa proposisi kondisional, sementara premis minor dan kesimpulannya berupa proposisi kategoris.

Penalaran Induktif
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.
Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar.16
     Menurut Sutrisno Hadi17, tujuan terpenting dari berfikir induksi adalah untuk membentuk pengetahuan umum yang kemudian akan dijadikan dasar deduksi, dijadikan premis mayor dari pada silogisme. Karenanya kerangka kerja penalaran ini berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret, yang selanjutnya dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus kongkret itu ditarik generalisasi yang memiliki sifat umum.
     Contoh berpikir induktif:
[1] P - mahasiswa universitas A = adalah pegawai, [2] Q - mahasiswa universitas A = adalah pegawai, [3] R - mahasiswa universitas A = adalah pegawai, [4] S - mahasiswa universitas A = adalah pegawai, [5] Y -mahasiswa universitas A = adalah pegawai, [6] Z - mahasiswa universitas A = adalah pegawai. Kesimpulan - jadi semua mahasiswa  [ P sampai Z ] yang studi di universitas A adalah pegawai.
Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.
 
Jenis-Jenis Induksi
     Menurut D.B. Van Dalen sebagaimana dikutip oleh Sutrisno Hadi18, mengatakan bahwa ada tiga jenis induksi yaitu:
Induksi Komplet
   Disebut juga induksi sempurna, yaitu apa yang dilakukan oleh penyelidik adalah semata-mata menghitung individu, subjek, atau peristiwa dalam suatu komunitas (kelas), kemudian menyimpulkan hasil penghitungannya itu ke dalam konklusi yang bersifat umum meliputi semua subjek, individu, atau peristiwa dalam kelas.
   Contoh:
   A penduduk desa X terkena cikungunya
   B penduduk desa X terkena cikungunya
   C penduduk desa X terkena cikungunya
   D penduduk desa X terkena cikungunya
   E penduduk desa X terkena cikungunya
   F penduduk desa X terkena cikungunya
   ................................................................
   K penduduk desa X terkena cikungunya
   L penduduk desa X terkena cikungunya
Jadi, semua manusia A sampai L penduduk desa X dapat terkena penyakit cikungunya.
Induksi sistim Bacon
   Induksi ini digagas oleh seorang tokoh empirisme bernama lengkap Fancis Bacon. Beliau adalah orang yang sangat menganjurkan untuk mengadakan observasi sendiri guna memperoleh konklusi umum, tidak meyandarkan pada deduksi yang ditelorkan orang lain.
Bacon mengajukan saran bahwa untuk mencapai hakekat kebenaran suatu gejala perlu dilakukan tiga macam tabulasi (pencatatan):
Tabulasi ciri-ciri positif
Kondisi atau peristiwa dalam suatu gejala pasti timbul jika kondisi atau peristiwa itu ada.
Tabulasi ciri-ciri negatif
Kondisi atau peristiwa dalam suatu gejala tidak timbul sungguhpun kondisi-kondisi itu ada.
Tabulasi variasi kondisi
Pencatatan ada atau tidaknya perubahan ciri-ciri gejala pada kondisi-kondisi yang berubah-ubah (diubah-ubah).
Induksi tidak komplet
   Induksi tidak sempurna ini tidak meminta observasi terhadap seluruh subjek, individu, peristiwa dalam suatu komunitas (kelas) melainkan cukup terhadap sebagian saja dari subjek, peristiwa, individu yang menjadi bagian komunitas. Teknik ini disebut dengan teknik sampel, jadi prosedurnya menggunakan prosedur penelitian sampel. 
Teknik Menarik Kesimpulan
     Untuk menarik kesimpulan dalam berfikir induktif, Francis Bacon dalam usaha menariuk kesimpulan yang berlaku umum, hendaknya bertolak dari hasil observasi untuk menentukan ciri-ciri gejala yang didapatinya dari hasil pencatatan dengan tiga jenis pencataan di atas. Kesimpulan yang dapat diambil sesuai dengan ciri-ciri, sifat-sifat atau unsur-unsur yang harus ada sebagai gejala yang berlaku umum18.
     Senada dengan Bacon di atas, menurut Herbert L.Searles19, bahwa untuk menarik kesimpulan dari hal-hal yang khusus diperlukan proses penalaran sebagai berikut: [1] Langkah pertama, mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan observasi [pengamatan] dan eksperimen. [2] Langkah kedua, dalam induksi ialah perumusan hipotesis.  Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi harus dapat meenjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. [3] Langkah ketiga, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. [4] Langkah keempat, teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagi semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis20adalah lebih tinggi. 

Problema Penalaran Induksi
      Logika induktif21 tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan.  Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan”.  Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.
      Penarikan kesimpulan secara induktif22 menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, umpamanya, bagimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini menghadapkan kita kepada persoalan tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak. Maka statistika dengan teori dasarnya teori peluang memberikan sebuah jalan keluar, memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran untuk seluruh anak yang berumur tersebut, tetapi hanya mengambil sebagian anak saja.

Metode Ilmiah: Memadukan Penalaran Deduktif dan Induktif
Jika dicermati secara seksama nampaknya jika kedua penalaran di atas berjalan sendiri-sendiri akan menemukan problema atau masalah krusial dalam konteks pengembangan ilmu pengetahun. Jika hanya mengikuti alur berfikir induktif dimana ada tuntutan untuk menemukan ilmu pengetahuan tiap-tiap orang harus mengadakan sendiri pengamatan langsung (direct, personal observation) sebagaimana anjuran Bacon, dan menyusun pengetahuannya atas dasar pengamatan itu, meskipun ideal namun hampir mustahil dapat dipraktekkan oleh semua orang dan sepanjang waktu mengingat keterbatan kemampuan dan pengalaman, sertaketerbatasan umur manusia.
Sebaliknya jika kita hanya menuruti cara-cara berfikir deduktif, ilmu pengetahuan akan mengalami hambatan bahkan kemandegan, mengingat: pertama, deduktif tidak banyak mendorong untuk diperolehnya pengetahuan-pengetahuan baru; kedua, kebenaran pada suatu waktu atau era kemungkinannya tidak dapat berlaku pada jaman-jaman lainnya.23
Dengan mendasarkan pada kerangka berfikir di atas, nampaknya diperlukan solusi agar proses pengembangan ilmu pengetahuan dapat secara simultan berjalan dengan kedua penalaran tersebut. Hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan pemaduan penggunaan kedua penalaran tersebut dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing.
Sepintas memang kedua penalaran di atas (penalaran deduktif dan induktif), seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah. Tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu ujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.
Upaya menemukan kebenaran dengan cara memadukan penalaran deduktif dengan penalaran induktif tersebut melahirkan penalaran yang disebut oleh John Dewey sebagai reflective thinking atau berpikir refleksi24, sedangkan Jujun S. Suriasumantri menawarkan istilah Logiko-Hipotetiko-Verifikatif. Pengkombinasian kedua cara tersebut dikatakan sebagai cara modern untuk memperoleh ilmu pengetahun, yang oleh Jujun S. Suriasumantri disebutnya sebagai metode ilmiah25.
Proses berpikir refleksi ini diperkenalkan oleh John Dewey sebagaimana dikutip oleh Burhan Bungin ini memiliki langkah-langkah atau tahap-tahap sebagai berikut26 :
The Felt Need, yaitu adanya suatu kebutuhan. Seorang merasakan adanya suatu kebutuhan yang menggoda perasaannya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut.
The Problem, yaitu menetapkan masalah. Kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt need di atas, selanjutnya diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan atau kebutuhan tersebut, yaitu apa sebenarnya yang sedang dialaminya, bagaimana bentuknya serta bagaimana pemecahannya.
The Hypothesis, yaitu menyusun hipotesis. Pengalaman-pengalaman seseorang berguna untuk mencoba melakukan pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Paling tidak percobaan untuk memecahkan masalah mulai dilakukan sesuai dengan pengalaman yang relevan. Namun pada tahap ini kemampuan seseorang hanya sampai pada jawaban sementara terhadap pemecahan masalah tersebut, karena itu ia hanya mampu berteori dan berhipotesis.
Collection of Data as Avidance, yaitu merekam data untuk pembuktian. Tak cukup memecahkan masalah hanya dengan pengalaman atau dengan cara berteori menggunakan teori-teori, hukum-hukum yang ada. Permasalahan manusia dari waktu ke waktu telah berkembang dari sederhana menjadi sangat kompleks; kompleks gejala maupun penyebabnya. Karena itu pendekatan hipotesis dianggap tidak memadai, rasionalitas jawaban pada hipotesis mulai dipertanyakan. Masyarakat kemudian tidak puas dengan pengalaman-pengalaman orang lain, juga tidak puas dengan hukum-hukum dan teori-teori yang juga dibuat orang sebelumnya. Salah satu alternatif adalah membuktikan sendiri hipotesis yang dibuatnya itu. Ini berarti orang harus merekam data di lapangan dan mengujinya sendiri. Kemudian data-data itu dihubung-hubungkan satu dengan lainnya untuk menemukan kaitan satu sama lain, kegiatan ini disebut dengan analisis. Kegiatan analisis tersebut dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis, yaitu hipotesis yang dirumuskan tadi.
Concluding Belief, yaitu membuat kesimpulan yang diyakini kebenarannya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada tahap sebelumnya, maka dibuatlah sebuah kesimpulan, dimana kesimpulan itu diyakini mengandung kebenaran.
General Value of The Conclusion, yaitu memformulasikan kesimpulan secara umum. Konstruksi dan isi kesimpulan pengujian hipotesis di atas, tidak saja berwujud teori, konsep dan metode yang hanya berlaku pada kasus tertentu - maksudnya kasus yang telah diuji hipotesisnya - tetapi juga kesimpulan dapat berlaku umum terhadap kasus yang lain di tempat lain dengan kemiripan-kemiripan tertentu dengan kasus yang telah dibuktikan tersebut untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. 
   Metode ilmiah merupakan langkah-langkah dalam memproses pengetahuan ilmiah dengan menggabungkan cara berpikir rasional dan empiris dengan jalan membangun jembatan penghubung yang berupa pengajuan hipotesis. Penggabungan atau pemaduan dua penalaran dengan jembatan hipotesis ini dikenal dengan istilah “Logiko-Hipotetiko-Verifikatif atau Dedukto-hipotetiko-verifikatif”.
       Baik model reflektive thinking maupun logiko-hipotetiko-verifikatif  sesungguhnya  keduanya berporoskan pada langkah-langkah metode ilmiah sebagai berikut:
Penyusunan kerangka berpikir berdasarkan logika deduktif
Pengajuan hipotesis sebagai kesimpulan dari kerangka berpikir tersebut
Pengujian (verifikasi) hipotesis.
Kriteria kebenaran Dunia Ilmiah
       Menurut Jujun27, dikatakan bahwa suatu penemuan penelitian harus mempunyai justifikasi (pembenaran) agar dapat dianggap memiliki kebenaran  ilmiah. Kriteria kebenaran keilmuan dalam hal ini berada dalam dua wilayah, yaitu konteks penemuan dan konteks justifikasi. Dua wilayah atau konteks ini berada dalam dua jenis penelitian yaitu penelitian murni yang bertujuan menemukan teori baru, dan penelitian terapan yang bertujuan memecahkan masalah.
       Dalam penelitian murni, konteks penemuan teori baru berada didunia rasional dan konteks justifikasi berada di dunia empiris. Sebaliknya dalam penelitian terapan, konteks penemuannya berada dalam dunia empiris, sedangkan konteks justifikasi berada dalam dunia rasional berupa teori.
Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.
Penutup
    Berdasarkan pembahasan di atas, menurut penulis ada beberapa hal penting perlu dikemukakan disini sebagai kesimpulan sebagai berikut :
Untuk memperoleh pengetahuan yang benar harus diperoleh dengan prosedur dan kerangka kerja yang logic, karenanya harus mendasarkan pada kaidah dan prosedur logika yang benar.
Ada dua penalaran yang dapat digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif
Kedua penalaran tersebut jika dipergunakan secara sendiri-sendiri meskipun dalam perspektif keilmuan dibenarkan, namun memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Dalam rangka lebih optimal dan produktifnya pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan pengkombinasian atau penggabungan diantara keduanya baik dalam kerangka model reflective thinking maupun dengan alur logico-hipotetico-verifikatif.


 
DAFTAR PUSTAKA 
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996. 
Bakry, Hasbullah, Sistimatika Filsafat. Jakarta: Widjaja, 1981. 
Furchan, Arief. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2005.  
George Novack, An Introduction to The Logic of Marxism, Terjemahan Indonsia : Jurnal KIRI, Volume 3, Oktober 2000, Penerbit Neuron. Versi Online: Indomarxist.Net, November 2002; Marxists Internet Archive, Desember 2002.  
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua [diperbaharui]. Yogyakarta: Liberty, 1991 
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research 1. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1985. 
Kasmadi, Hartono, dkk., Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press, 1990.

Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, Terjemahan Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986.  
Kusumah, Yaya S., Logika Matematika Elementer, Bandung. 1986. 
Markaban, Logika Matematika, Modul Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Tingkat Dasar Depdiknas Ditjend Didkdasmen 2004. 
Mundiri, Logika, cet. 3, Jakarta: Rajawali Press, 2003. 
Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992. 
Semiawan, Conny R, Th. I Setiawan dan Yufiarti. Spirit Inovasi Dalam Filsafat Ilmu. Jakarta: Indeks, 2010. 
Semiawan, Conny R., Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yusuf Hadi dan Ary Mochtar Pedju (Ed.). Cet.2. Jakarta: Kencana, 2008.
Sunoto. Mengenal Filsafat Pancasila I, Edisi II, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII,1982.   
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990). 
______ Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Jakarta: Obor Indonesia, 1997.

______ Menguak Cakrawala Keilmuan Landasan Filosofis Penulisan Tesis dan Disertasi. Jakarta: PPS UNJ, 2010.  
______Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi. Jakarta: PPS UNJ, 2010.  
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberti, 1992. 
Wojowasito, S.,- W.J.S. Poerwadarminto. Kamus Lengkap Inggris Indonesia - Indonesia Inggris, Hasta: Bandung, 1980. 

0 komentar:

Posting Komentar