Sabtu, 30 Oktober 2010

PostHeaderIcon FILSAFAT ILMU DI ZAMAN MODERN

FILSAFAT ILMU DI ZAMAN MODERN
AI SUTINI & NIDAR YUSUF


Filsafat Ilmu Dalam Pandangan Positivisme Logis
 Konsep yang paling mendasar dalam filsafat ilmu adalah empirisme, atau ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alami dalam hidup kita. Berbagai hipotesis dikembangkan dan diuji melalui berbagai pengamatan dan eksperimental. Setelah pengamatan dan eksperimental diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, maka hal tersebut dianggap dan dapat digunakan sebagai bukti untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam.
Positivisme logis (empirisme logis, empirisme rasional, neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan criteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis antara lain : Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam Lingkaran Wina yang salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivisme.
Asal mula gagasan positivisme logis
Secara umum para penganut paham positivisme logis memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptik terhadap ilmu agama dan hal yang berbau metafisik. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan harus berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas, sehingga penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah teori positivisme logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa sehingga tergolong ke dalam metafisika.
Selain tokoh-tokoh penganut paham positivisme logis ada juga tokoh sebagai pengkritik terhadap paham positivisme logis salah satunya Karl Popper. Buku yang ditulisnya berjudul logic der forschung (logika penemuan ilmiah) pada tahun 1934. Buku tersebut menyajikan alternative dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama topic yang dibahas Popper bukannya tentang membedakan antara yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakannya antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik.  Menurutnya metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada zaman itu tidak memiliki metode penyangkalan, sehingga dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai  ilmiah. Pandangan ini sangat bertentangan dengan pandangan kelompok Wina yang positif dan karenanya dalam persoalan epistemology bersifat idealis menurut tradisi Berkeley dan Mach. Rasionalisme yang tidak kritis atau komprehensif menurut Popper bisa diungkapkan dalam bentuk prinsip bahwa anggapan apapun tak dapat didukung oleh penalaran atau pengalaman harus ditinggalkan. Prinsip rasionalisme komprehensif ini tidak konsisten, sebab tidak didukung dengan penalaran ataupun pengalaman. Atas pengalaman itulah Popper mendukung rasionalisme kritis yang mengakui kenyataan bahwa sikap rasionalis yang fundamental merupakan hasil suatu tindak kepercayaan (act of faith) kepercayaan pada akal, sebagai basis kesatuan manusia. Rasionalis yang diperjuangkan Popper bersifat jatmika (modest), kritis terhadap diri sendiri (self-critical) dan mengenal batas-batas tertentu.
Para pengkritik  positivisme logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh positivisme logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya prinsip teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif ( misalnya ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negative (misalnya tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eskistensi negative (misalnya tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.

Kritik Popper terhadap positivisme
          Pengalaman Perang Dunia I dan sesudahnya mempengaruhi sedemikian mendalam, dan sejak saat itu Popper curiga dan malahan memusuhi segala anggapan yang memuat suatu unsure totalisme. Analisis Popper, suatu sikap dasar yang mengelakan segala kemungkinan pemeriksaan empiris tidak hanya tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan kebenarannya, melainkan tidak rela membuka diri terhadap usaha untuk dibuktikan salah:sebagai tidak empiris, sikap itu luput dari kemungkinan falsifikasi. Pengalaman Popper pada perang Dunia I dan II menjadi dasar anggapan-anggapannya mengenai “masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka” dan segala bantahan yang dilihatnya sebagai cita-cita demokrasi. Anggapan Popper pada saat perang Dunia kedua dirumuskan dalam the open society and its enemis, dasar teoretis mengenai keunggulan falsifikasi, kemustahilan verifikasi serta cirri bukan ilmiah dari setiap kekebalan terhadap usaha falsifikasi sudah dituangkan dalam karyanya mengenai ilmu-ilmu pengetahuan alam yaitu terbit dalam Bahasa Inggris dengan judul The logic scientific discovery.
Pengetahuan, Kebenaran, dan Falsifikasi Popper
          Pengetahuan dapat dimengerti sebagai kesadaran subjek pengenal tentang objek yang dikenalnya. Pengetahuan itu dapat subjektif maupun objektif, disebut subjektif jika aneka pandangan, faham dan selera yang aka nada pada subejrk pengenal berperan besar, langsung atau tak langsung dalam proses mendapatkan kesadaran tersebut. Sebaliknya disebut objektif jika unsur-unsur yang bersifat spesifik ada pada diri subjek pengenal tersebut tidak ada.
          Dalam keseluruhan proses pengetahuan ada dua hal penting, yaitu evidensi dan kepastian. Evidensi terletak pada pihak objek sedangkan kepastian ada pada pihak subjek. Evidensi dapat dimengerti sebagai daya objek untuk menampakan diri, sedang kepastian adalah keyakinan pada diri subjek bahwa yang dikenalnya adalah benar-benar objek yang ingin diketahuinya. Keduanya perlu dilihat dari sudut kesatuan asli subjek dan objek dalam pengetahuan manusia pada umumnya. Makin dekat bidang ilmu itu pada pengalaman manusia seutuhnya, makin besarlah kesatuan subjek dan objek dan makin besar pula peran subjek dalam kesatuan subjek-subjek tersebut. Dalam arti evidensi dan kepastian sangat diwarnai subjektivitas. Sebaliknya makin jauh bidang ilmu itu dari pengalaman manusia seutuhnya makin kurang kesatuan antara subjek dan objek dan makin kuranglah pula peran subjek didalamnya. Dalam hal itu evidensi dan kepastian diwarnai oleh objektivitas yang ditentukan dari luar pengalaman. Kebenaran adalah kenyataan (being) yang menampakan diri sampai masuk akal. Ilmu-ilmu empiris mencoba mengejar kesamaan dengan aneka cara yang khas pada ilmu itu.
Paradigma Thomas Kuhn
Pandangan kaum induktivisme dan falsifikanisme tentang ilmu, yang hanya memusatkan perhatian pada relasi antara teori dan observasi telah gagal memperhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam teori ilmiah yang urgen. Penekanan kaum induktifis naïf yang menarik teori secara induktif dari hasil observasi maupun kaum falsifikasi yang menarik dari hasil reduksinya. Dengan teori general dan koheren, konsep akan dapat memperoleh makna yang tepat dan memungkinkan memenuhi kebutuhan untuk berkembang lebih efisien.
Menurut Thomas Khun ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika tidak dapat mencapai kesempurnaan absolud dalam konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara open-ended atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan. Adapun skema progress sains menurut Khun adalah sebagai berikut: (1) praparadigma-prasscience (2) paradigm-normal science (3) anomaly kritis-revolusi paradogma baru (4) ektra ordinary science.
1.      Praparadigma –pra ilmu
Pada stage ini terdapat persetujuan yang kecil bahkan tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuwan tentang suatu teori (fenomena), maka aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir. Sejumlah aliran bersaing mendukung atau lain varian dalam teori tertentu, misalnya tentang sifat cahaya. Teori Epucurus, teori Aristoteles menganggap cahaya sebagai partikel-pertikel yang keluar dari benda-benda yang berwujud;bagi yang lain cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang di antara benda dan mata;yang lain lagi menerangkan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata;di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri. Walaupun aktivitas ilmiah masing-masing aliran tersebut dilakukan secara terpisah, tidak terorganisir, hal ini tetap memberikan sumbangan penting kepada sejumlah konsep, gejala dan teknik dari suatu paradigm tunggal oleh semua aliran. Dengan kemampuan paradigm dalam membanding penyelidikan. Menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat menerima (mengatasi) ketergantungan observasi pada teori.

Paradigma normal science
Pada stage ini terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuwan sehingga paradigm tunggal diterima oleh semuanya. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi. Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah memungkiri adanya definisi yang ketat, meskipun demikian paradigma tersebut mencakup.
Beberapa komponen tipikal secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoretis, seperti hukum “gerak” newton membentuk paradigm Newtonian. Hukum “persamaan”  Maxwell merupakan sebagaian paradigm yang telah membentuk teori elektromegnetik klasik. Beberapa instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigm dapat bertahan dalam dunia nyata. Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisir untuk menjabarkan paradigm dengan tujuan untuk memperbaiki imbangannya dengan alam untuk memecahkan teka-teki science, baik teoretis maupun eksperimental. Teka-teki teoretis meliputi perencanaaan teknik matematika untuk menangani gerak suatu planet yang tergantung dari beberapa gaya tarik dan mengembangkan asumsi sesuai dengan hukum Newton pada benda cair. Sedangkan teka-teki eksperimental meliputi keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya.
Ada tiga fokus normal pada penelitian science factual, yaitu : (a) menentukan fakta yang penting (b) menyesuaikan fakta dengan teori. Eksistensi paradigm itu menentukan dan menyusun masalah-masalah yang harus dipecahkan (c) mengartikulasikan paradigm dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah riset untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru.
Paradigma yang muncul selanjutnya melihat alam semesta terbuat dari bahan-nahan material yang sama. Khun berargumentasi bahwa para penyusun paradigma baru di dalam dunia yang berlainan.
Terjadinya Krisis pada masa Thomas Khun
Sasaran normal adalah memecahkan teka-teki science dan bukan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, gejala tersebut muncul dan tersingkap secara ilmiah dan dapat diterangkan melalui paradigma dan kelainan-kelainan antara teori dan fakta yang secara fundamental menyerang paradigm, dengan demikian kepercayaan terhadap paradigm mulai goyah dan kemudian terjadi krisis yang berujung pada perubahan paradigm (resolusi). Hal-hal yang dapat menggoyahkan paradigma:
a). menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigm dan secara gigih menentang usaha para ilmuwan normal science untuk mengabaikannya.
b). mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Hal-hal tersebut dapat diasumsikan sebagai prakondisi yang diperlukan sehingga memunculkan teori-teori baru. Terjadi perdebatan diantara para ilmuwan filosofis dan metafisis, pada dasarnya mereka membela penemuan-penemuan baru dengan argumen-argumen filosofis yang dipandang dari sudut paradigm.
Lain halnya dengan Thomas Young tentang teori gelombang cahaya, muncul pada tahap awal ketika krisis dalam optika sedang berkembang. Terjadi persaingan antara paradigm yang dianut dan paradigm rival yang menandai suatu krisis. Paradigma yang bersaing memandang berbagai pertanyaan sebagai hal yang sah dan penuh arti dilihat dari masing-masing paradigm. Pertanyaan mengenai beratnya phlogiston adalah penting bagi para ahli teori phlogiston, tetapi hampa bagi Lavosier. Soal “aksi” pada suatu jarak yang tidak dapat diterangkan diterima oleh kaum Newton akan tetapi oleh kaum Cartesian sebagai langkah metafisis gaib. Gerak tanpa sebab adalah mustahil bagi Aristoteles, akan tetapi dipandang sebagai aksiomatik bagi Newton. Setiap paradigm memandang bahwa dunia ini terbuat dari berbagai macam hal yang berlainan dan masing-masing paradigm melibatkan standar yang berlainan dan bertentangan dalam memandang dunia.
             Paradigma Aristoteles melihat bahwa dunia ini terbagi menjadi dua dunia yang berlainan, dunia super lunar (yang abadi dan tidak berubah) dan dunia sub lunar (yang bisa musnah dan berubah-ubah). Paradigma lain muncul bahwa semesta terbaut dari bahan-bahan material yang sama, oleh sebab itu diskusi dan adu argument seringkali terjadi untuk meyakinkan dan bukan memaksakan paradigm. Tidak ada argument  logis yang murni untuk memaksa seorang ilmuwan yang rasional untuk melakukan perpindahan paradigm. Keputusan para ilmuwan individual atas paradigma akan tergantung pada beberapa factor antara lain:
1.      Kesederhanaan
2.      Kebutuhan social yang mendesak
3.      Kemampuan memecahkan problem khusus
4.      Kerapihan dan kecocokan dengan permasalahan yang dihadapi.
           Perlunya Revolusi Sains
                  Mengapa perubahan paradigma disebut revolusi? Khun menggambarkan hal  ini dengan perubahan pada revolusi politik. Bertujuan mengubah lembaga-lembaga politik dengan cara yang dilarang oleh lembaga-lembaga sendiri. Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigm lama ke paradigm baru yang berlawanan menurut Khun yang dimaksud revolusi science. Oleh karena itu perkembangan ilmu tidak secara komulatif dan evolusioner, akan tetapi secara revolusioner yakni membuang paradigm baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dapat memberikan perubahan dan kemampuan dalam memecahkan masalah untuk masa depan.
                  Dalam ilmu-ilmu social yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigm akan lebih mampu menjawab permasalahan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Perpaduan antara paradigm fakta social, prilaku social dan definisi social mempunyai perbedaan dan berlawanan diformulasikan dalam suatu paradigm yang dapat memecahkan masalah-masalah yang lebih kompleks seiring dengan perkembangan zaman. Khun memberikan kontribusi dalam dinamika ilmu pengetahuan dan peradaban manusia serta mampu mendobrak citra pencapaian ilmu pengetahuan yang absolute dan tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Pendekatan Anarkistis Paul Karl Feyerabend
Paul Karl Feyerabend lahir di Wina, Austria pada tahun 1924 dan termasuk seorang filsuf ilmu pengetahuan yang cukup controversial. Dikalangan tertentu dianggap sebagai musuh ilmu pengetahuan karena mengadvokasi sisi non ilmiah untuk mencapai kebenaran. Ia juga dituduh sebagai anti rasionalitas karena mengadvokasi sisi intuitif manusia. Feyerabend mewarnai ilmu pengetahuan abad ke 20 dengan melihat sejarah ilmu pengetahuan sebagai sesuatu sentral di dalam filsafat ilmu pengetahuan. Melalui analisis sejarah ilmu pengetahuan, ia melihat bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin salah, setiap teori selalu digagalkan dengan berikutnya.  Ia juga sependapat dengan Kuhn tentang ketidakterbandingan (incommensurability) antara dua paradigm ilmu yang berbeda. Artinya dua teori yang berbeda tidak bisa diukur dengan standar yang sama. Ia menolak bahwa pengamatan merupakan standar yang bisa dipakai untuk melihat apakah sebuah teori terbukti atau tidak, benar tidaknya sebuah pengamatan ditentukan oleh teorinya. Misalnya konsep “panjang” dalam metafisik Newtonian dan fisika metafisik. Dalam Newtonian “panjang” adalah sebuah entitas yang independen terhadap kecepatan benda, kecepatan pengamat dan medan gravitasi, namun dalam fisika “panjang” tidaklah independen terhadap kecepatan benda. Dari contoh tersebut Feyerabend berpendapat bahwa kebenaran hanya bisa dicapai melalui metode ilmiah. Positivisme dalam ilmu pengetahuan hanya bisa dicapai melalui pengamatan. Sedangkan pengamatan menurut penganut positivism adalah sesuatu yang betul-betul bebas nilai dan oleh karena itu objektif. Feyerabend menolak klaim ini bahwa pengamatan tidaklah bebas nilai melainkan terkandung di dalamnya metide yang dipakai (theory laden), dengan kata lain metodologi yang berbeda akan menghasilkan pengamatan yang berbeda, oleh sebab itu pengamatan sama sekali tidak objektif. Feyerabend melihat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan justru terjadi saat metodologi dilanggar. Contohnya pada kasus Galileo. Pembelaannya pada heliosentrisme justru dilakukan dengan melanggar standar ilmu pengetahuan Aristotelian yang berlaku pada waktu itu. Hal ini terjadi karena realitas sesungguhnya jauh lebih kaya daripada apa yang bisa dijangkau oleh metode ilmiah. Dia mengambil jalan anarkistik untuk mencapai kebenaran di dalam ilmu pengetahuan. Namun apa yang sesungguhnya yang ingin dicapai Feyerabend? Ia melihat sesuatu yang menakutkan dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan karena sesungguhnya ilmu pengetahuan dalam sejarahnya lahir untuk melawan metafisika khususnya metafisika agama yang telah menjelma menjadi agama baru. Seperti halnya agama yang mempunyai klaim otoritatif yang tidak bisa diganggu gugat karena klaim ilahiah, ilmu pengetahuanpun mulai mencapai status “ilahiah” melalui klaim metode ilmiah yang tidak bisa dibantah. Feyerabend melihat justru sesuatu yang tidak menggembirakan karena perkembangan ilmu pengetahuan terjadi justru karena penumbangan satu metode oleh metode yang lain .Jika suatu metode ilmiah tidak ditumbangkan yang terjadi adalah kemandegan ilmu pengetahuan karena metodologi menciptakan kebenarannya sendiri.
Melihat uraian di atas, ketika merunut sejarah Feyerabend mengacu pada pernyaataan Protagoras bahwa pengetahuan kita hanyalah sekedar pendapat umum yang berdasarkan pada pengalaman yang tidak tetap dan membadakan kita “yang banyak” dengan “yang sedikit” yang tercerahkan yaitu teori-teori aneh mereka. Protagoras ingin melawan pendapat Plato yang menganggap bahwa para filsuf tahu lebih baik tentang realitas dibandingkan dengan para praktisi sehari-hari. Menurut Plato, para praktisi seringkali membuat reduksi untuk bisa menjelaskan fenomena di dalam wilayah masing-masing.
Pandangan Plato tidak salah, jika filsuf dilihat secara sejajar dengan lain atau sekedar moderator di dalam perdebatan untuk mencari kebenaran. Protagoras tidak menyangkal bahwa keberadaan orang-orang bijak sangat dibutuhkan. Perubahan hanya bisa dilakukan oleh 0rang-orang bijak karena memiliki pandangan lebih luas dari orang – orang pada umumnya. Mengacu pada kehidupan polis di Yunani terutama di Athena, Protagoras memutuskan untuk melakukan perubahan, dalam hal ini perubahan politis tetap ada di tangan masyarakat banyak. Filsuf hanya sebagai penasehat bukan  sebagai dictator. Protagoras memperingatkan bahwa jika filsuf diberikan hak untuk menentukan masyarakat, mereka cenderung akan mengubah masyarakat menjadi sesuai dengan apa yang dianggap benar, bukan untuk semakin mendekati hakiki. Menurut Feyerabend ini adalah awal dari otoritarianisme ilmu pengetahuan, dan ingin sekali meruntuhkan otoritarianisme.


   Hermeneutik
            Secara etimologi kata “hermeneutic” atau “hermeneutika” berasal dari Bahasa Inggris hermeneutics. Kata hermeneutic dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata atau hermeneuein yang berate ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti ‘penafsiran’. Kata hermeneuo juga bermakna ‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai penafsir’. Dari beberapa makna di atas dapat disimpulkan bahwa hermeneutic adalah usaha untuk beralih dari sesuatu yang relative gelap kepada sesuatu yang lebih terang atau proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Akar kata “ heurmeuneutik” dalam Yunani “ heurmeuneuein”bermakna menakwilkan (menafsirkan) dan dalam bentuk “heurmeneuid” bermakna takwil (tafsir). Kedua kata “heurmeneuein” dan “heurmeuneuid dinisbahkan pada Tuhan pembawa pesan Yunani bernama “hermes” secara lahiriah kata tersebut diambil darinya dan mungkin juga sebaliknya. Orang Yunani menghubungkan penemuan bahasa dan tulisan pada hermes, yakni dua hal tersebut (bahasa dan tulisan) merupakan alat bagi manusia untuk mamahami makna-makna dan memindahkan pada orang lain. Oleh sebab itu asas dan sumber kata “hermeuneutik” mengandung aktivitas pada pemahaman, secara khusus aktivitas yang merupakan kemestian dari bahasa, sebab itu bahasa adalah perantara semua ukuran aktivitas ini.
Hermeneutic memiliki tiga model,yaitu hermeneutic sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoretis, hermeneutic sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutic sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis. Salah satu pemikir hermeneutic filosofis adalah Hans-Georg Gadamer, yang dilahirkan di kota Breslau 11 Februari 1900.
Menurut Gadamer interppretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Menurutnya arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut, karena interpretasi tidak bersifat reproduktif akan tetapi juga produktif. Kritik Gadamer mengenai hermeneutic romantic tentang waktu bahwa seorang interpretator harus dapat melepaskan diri dari dimensi waktu yang melingkupnya dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Kritik berikutnya dari Gadamer tentang konsep “tradisi dan prasangka”. Menurut tradisi hermeneutika romantic dalam menafsirkan teks tradisi dan prasangka harus dihindarkan, karena prasangka hanya memiliki arti kurang baik dalam memahami suatu teks. Kita harus membedakan antara prasangka yang legitim dan yang tidak legitim, prasangka yang sah dan tidak sah. Gadamer justru mengakuinya walaupun kita mengakui otoritas suatu tradisi dan bahkan menjadi bagian dari tradisi, tetapi hal tersebut tidak akan menghambat pengenalan suatu teks, justru sebaliknya akan membantu dalam proses pemahaman.
Secara umum dunia hermeneutic adalah dunia pemahaman atau penafsiran (verstehen). Dalam perkembangannya metode pemahaman ini dari generasi ke generasi terus berkembang. Pada tingkat awal dunia hermeneutic gagasan dari Schlelermacher dan Dilthey, mengerti atau memahami suatu teks adalah menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa yang dimaksud oleh pengarang teks yakni pikiran, pendapat, visi, perasaan dan maksud pengarang teks.



System dan metode ilmu yang ditawarkan oleh Hans-Georg Gadamer
Paul Richar mendefinisikan hermeneutic : teori aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi teks. Antoni Karbooy mendefinisikan hermeneutic adalah ilmu/teori penakwilan. Sedangkan Andrew Bovy mendefinisikan hermeneutic adalah keahlian interpretasi.
Hubungan hermeneutic dengan ilmu-ilmu lainnya:
1.      Hermeneutic dan epistemilogi
Hermeneutic dan epistemology ditinjau dari dimensi peran yang berhubungan dengan makrifat dan pemahaman manusia. Keduanya mempunyai hubungan dekat, tapi kedua ilmu ini tidak bisa dikatakan satu, sebab hermeneutic menjelaskan tentang metode mendapatkan pemahaman, sedangkan epistemology punya pemahaman lain seperti :
a.       Apakah pemahaman dan pengetahuan manusia fitri dan apriori atau hissi, empiric dan aposteriori?
b.      Apa ukuran kebenaran dan kesalahan, hakikat dan bukan hakikat?
c.       Hubungan apa yang terjadi antara subjek dan objek?
d.      Apa yang menjadi wasilah makrifat manusia?akal hissi atau wijdan (hati nurani) atau semuanya?
2.      Hermeneutic dan logika
Kedua ilmu ini dari sisi mengajarkan cara berpikir dan memahami adalah satu. Ilmu logika berdasarkan batasan-batasan yang dimiliki sebagai ilmu alat merupakan persiapan ilmu, dimana seluruh metode-metode pemikiran dan ilmu menjadi tolak ukur. Hermeneutik tidak bisa terlepas dari menggunakan salah satu dari metode-metode ilmu logika, apakah itu hermeneutic yang berdasar penyusun berdasar teks, atau berdasar penafsir. Dengan kata lain hermeneutic terdapat pandangan bahwa suatu teks tertulis dan tafsiran suatu karya seni atau bahkan dalam suatu  fenomena natural berlaku syarat-syarat/kaidah-kaidah ruh serta syarat-syarat pemikiran sipenafsir.
3.      Heurmeneutik dan ilmu bahasa (linguistic)
Dari satu sisi hermeneutic mempunyai hubungan dengan teks sedangkan sisi lain keberadaan teks tergantung pada bahasa. Keduanya mempunyai hubungan kuat tapi masing-masing mempunyai subjek, metode dan tujuan khusus. Pada hakekatnya ilmu hermeneutic mengambil pendapat dari bahasa terutama bagian yang membahas penggunaan dan struktur bahasa.
4.      Hermeneutic dan ilmu tafsir
Di dunia islam pandangan hermeneutic mewarnai para ulama islam, sebab jika kita melihat bahwa nabi Muhammad SAW beliau juga bertugas dan berperan sebagai pengetes dan penafsir A-quran. 
Pemikiran Hans-Georg Gadamer
1.      Sumber dan hakikat pengetahuan
Menurut Gadamer sejarah atau sosialitas masyarakat merupakan media berlangsungnya semua system pengetahuan. Dengan mengkombinasikan berbagai makna menjadi makna yang general. Misalnya melalui bahasa, masyarakat tidak hanya sebagai symbol untuk menginterpretasikan diri, akan tetapi karakter dan pemikiran dan pandangan masyarakat.



2.      Alat pengetahuan
Bahasa merupakan titik sentral dalam proses pemahaman, dengan bahasa bukan saja hanya memahami teks-teks masa lampau melainkan merupakan sikap fundamental dalam eksistensi manusia.
3.      Teori dan metode pengetahuan
Menurut Gadamer, dalam memperoleh pengetahuan dapat diperoleh melalui:
a.       Teori “kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah
b.      Teori prapemahaman
c.       Teori penggabungan/asimilasi horizon
d.      Teori penerapan/aplikasi
e.       Teori kebenaran pengetahuan
f.       Pengujian kebenaran pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. (2002). Fissafat Barat Kontemporer. Jakarta:Gramedia.
Chariri, Anis.(2009). Philosophy of social interpretative sociology, dalam www. Anischariri.multiply.com

Faiz, Fachrudin.(2005). Hermeneutik Al-quran:tema-tema controversial. Yogyakarta:el Saq Press.

Gadamer, Hans-Greog.(2004). Kebenaran dan Metode:Pengantar Filsafat Hermeneutika,  terjemahan Ahmad Sahidah. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Hardiman, F.Budi.(2003). Melampaui Positivisme dan Modernitas:Diskursus Filosofis tentang metode ilmiah dan problem Modernitas.Yogyakarta:Kanisius.

Hidayat, Komarudin.(1996). Memahami Bahasa Agama:Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta:Paramadina.

Maksum, Ali.(2010). Pengantar Filsafat:Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme.Yogyakarta:Al-Ruzz Media.

Muslih, Mochammad.(2005). Filsafat Ilmu:Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.Yogyakarta:Belukar.

0 komentar:

Posting Komentar